Too Fast, Too Furious: The World Nowadays

Christian Theo
4 min readSep 1, 2020

--

dry leaves on stairs
Menghadapi dunia yang serba cepat bisa menguras energi dan waktu kita | Foto: dok. pribadi

Belakangan ini, banyak hal-hal dalam hidup saya yang rasanya berjalan begitu cepat. Beberapa teman menyelesaikan studi, beberapa lainnya mulai merencanakan pernikahan. Tren silih berganti, mulai dari usaha kuliner ala-ala selama pandemi sampai skena gowes yang banyak digandrungi. Berniat istirahat dengan kabur ke media sosial, justru terpapar rentetan informasi yang semakin hari semakin bikin terheran-heran. Dua hal yang belum juga berjalan cepat cuma progress skripsi dan penambahan saldo rekening saya.

Soal kehidupan yang serba cepat ini, saya sempat membaca ringkasan buku berjudul The Things You Can See Only When You Slow Down tulisan Haemin Sunim. Buku ini banyak bicara soal hal serupa, tentang bagaimana kita bisa bertahan hidup secara fisik dan mental dalam menghadapi dunia yang berjalan semakin cepat.

Terkadang, kita begitu terbuka terhadap apa yang dunia tawarkan dan membiarkan kita dikontrol olehnya. Kecenderungan ini paling mudah dilihat dalam perilaku kita menanggapi tren: berbondong-bondong ke kofisyop baru yang instagramable, beli dessert yang viral dan banyak distoryin temen, pakai filter jahat yang bikin muka belekan bangun tidur jadi bersih bersinar sunlight, apa lagi? Tentu masih banyak hal-hal kecil yang kita lakukan buat sekadar mengikuti tren. Perlu dicatat bahwa itu bukan sesuatu yang salah. Hanya saja, kita perlu selalu “menyadari” apa yang terjadi dan kita lakukan sehingga tidak “menguras” energi dan waktu kita sedikit demi sedikit.

Menurut Sunim, pikiran kita sendiri yang menciptakan kesan bahwa dunia berjalan cepat. Cara kita mempersepsikan hal-hal di sekitar kita yang membentuk dunia itu sendiri. Contohnya: bagi sebagian orang, belajar atau menulis dalam konteks akademik bisa jadi hal yang sangat menyenangkan. Tapi mungkin bagi sebagian lainnya, belajar bisa jadi hal yang sangat berat. Perbedaan antara keduanya bukan pada situasi yang menyebabkan persepsi, melainkan sebaliknya. Hal ini berlaku pada banyak hal yang ada di sekitar kita.

When our mind rests, the world rests. Bukan sekali dua kali, saya pernah mengalami kekhawatiran soal hal-hal yang belum terjadi, atau kecemasan-kecemasan akan apa yang pernah terjadi di masa lampau. Tapi, kita tidak bisa mengontrol kedua masa tersebut. Apa yang sudah terjadi dan belum terjadi berada di luar kuasa kita. Satu-satunya yang bisa kita kontrol dan kendalikan adalah hic et nunc — saat ini dan di sini, the present.

Melatih fokus pada apa yang kita hadapi saat ini dan di sini akan berdampak pada kesadaran diri yang optimal. Jika kita merasa sedih, kita harus sadar akan apa yang menyebabkan kesedihan itu, dan apa yang harus kita lakukan. Marah, senang, kecewa, lelah, jika kita menyadari kondisi kita saat ini dan di sini, setidaknya kita tidak terlalu lama larut dalam rasa perasaan yang menghambat produktivitas dan perjalanan kita. Sedikit banyak, upaya ini turut mengurangi risiko stres dan depresi akibat hal-hal yang kurang kita sadari.

Jika kita sudah berhasil melatih diri untuk “melambat”, mengatur tempo, menciptakan persepsi yang baik dan melatih kesadaran, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menjaga hal-hal tersebut tetap positif:

  1. Choose happiness, not success

Terkadang untuk mencapai sukses, kita melakukan terlalu banyak hal dan mengorbankan hal-hal yang tidak seharusnya kita korbankan: keluarga, teman, integritas diri, dan lain sebagainya. Memang benar, kita bisa mencapai sukses lewat cara tersebut. Tapi akan lebih menyenangkan bila kita bisa mencapai sukses dengan cara yang membahagiakan bukan? Sukses tidak akan ada ujungnya, begitu kita sampai di satu titik kesuksesan akan selalu ada titik sukses selanjutnya yang mau kita capai. Untuk itu selalu iringi upaya kita dengan hal-hal yang membuat kita bahagia, lewat relasi dengan keluarga, lewat pekerjaan yang bisa kita jalani dengan passionate, dengan membangun networking yang sehat, dan sebagainya.

2. Leave ego and selfishness

Menjadi egois perlu dibedakan dengan upaya kita untuk self-love. Serupa dengan poin sebelumnya, terlalu mementingkan dirimu sendiri bisa mengganggu keseimbangan antara kebahagiaan dan suksesmu, karena menjadi egois berarti mengesampingkan relasi dengan orang-orang di sekitarmu, meninggalkan empati dan ini bisa berujung tidak sehat. Tapi perlu diingat, bahwa kita juga perlu menciptakan batas antara tidak egois dan “menjadi terlalu baik” pada orang lain. Sayangi diri kita sendiri dengan kapasitas yang tepat.

3. Live with confidence and conviction

Berhenti terlalu memikirkan opini orang lain terhadap diri sendiri. We spend too much time worrying about this. Tentukan tujuan yang mau kita capai, ciptakan makna buat hidupmu dan jalani dengan kepercayaan diri dan keyakinan. Nggak semua orang harus suka pada yang kita lakukan. Pada titik di mana kita menyadari hal ini, mulai tentukan apa yang benar-benar kita inginkan dan mau kita capai.

Dinamika dunia modern tidak akan pernah ada habisnya. Lewat kesadaran diri (self-awareness), kita bisa mengelola perspektif kita. Hargai diri kita sebagai bagian kecil dari jagad raya yang sedemikian besar.

Terakhir, ketika kita menemukan orang lain yang juga dalam perjalanan untuk mencapai mimpi-mimpi dalam hidupnya, perlakukan mereka sebagaimana kita mau diperlakukan. Give our live a simple act of encouragement, kindness, and hope: it will change someone’s life forever.

--

--