Sinopsis Buku: The Art of Solitude

Christian Theo
6 min readJan 13, 2023

--

The Art of Solitude: What I Think About When I’m On My Own (2020). Author: Desi Anwar.

Bagi sebagian orang, solitude atau “kesendirian” bisa sangat menakutkan. Ada yang menilai bahwa sendiri berarti kesepian. Sebagian lainnya merasa kesendirian adalah hal paling ramai di dunia.

Bagi Desi Anwar, baik rasa sepi maupun ramai yang dialami dalam kesendirian, keduanya punya banyak pemaknaannya sendiri. Setidaknya itu yang kutangkap dari bukunya yang berjudul “The Art of Solitude: What I Think about When I’m on My Own”.

Berikut ini beberapa poin yang kudapat dari sana, kurangkum dalam 3 bagian — meski sedikit berantakan; tapi semoga bermanfaat untukmu.

Bagian 1: Yang bisa kamu lakukan saat sendiri

a. Berdamai

Bicara soal kesendirian, tentu kita awali dengan satu komponen utama dalam situasi tersebut: diri sendiri.

Kadang kita sibuk tenggelam dalam keramaian riuh rendah soal kita dan orang lain, saling adu membandingkan nasib dan mengutuk diri sendiri akan hal-hal yang mengecewakan dan tidak berjalan sesuai rencana.

Kita begitu sibuk melihat pencapaian-pencapaian orang lain, keberhasilan dan hal-hal lain yang begitu indah terjadi di luar diri kita. Lantas saat berhadapan dengan kesendirian, kita bertemu dengan diri kita sendiri yang sibuk kita benci, dikutuk dirinya sendiri.

Padahal, dirimu yang selama ini kita tinggalkan, yang begitu jarang kita nilai baik, yang kita benci sedemikian hebatnya akibat dirinya yang tidak sebaik orang lain, kini jadi satu-satunya entitas yang tinggal bersamamu, yang bertahan dan tidak meninggalkanmu terlepas dari apa yang kamu perbuat.

Maka dalam kesendirian, berbincanglah dengan dirimu sendiri.

Ucapkan terima kasih, minta maaf, dan berdamailah.

b. Menumbuhkan kesadaran diri dan sekitar

Selagi kamu sendiri, tidak ada orang lain yang memberikan penilaian buatmu, sehingga gunakan momen ini untuk menilik lebih dalam apa yang ada pada dirimu sebebas mungkin tanpa takut dinilai buruk oleh orang lain.

Sedikit klise, tapi cobalah untuk memulai kebiasaan-kebiasaan baru: membaca kembali tumpukan buku yang mulai usang, atau menonton genre-genre film yang selama ini kamu hindari.

Jika itu kurang seru untukmu, masuk ke kamar dan lihat sekelilingmu. Rapikan semua yang berantakan, buang yang tidak perlu. Tidak perlu khawatir kehilangan memori pada setiap barangnya, fokus pada fungsi dan kegunaannya. Lakukan hal yang sama pada isi kepalamu.

Aktivitas serupa sering dikenal sebagai decluttering, yang tidak sama dengan “membuang sampah”, tapi lebih kepada mengorganisir hal-hal yang terlampau berantakan supaya lebih tertata, sehingga lebih jelas terlihat fungsinya: mengotori, atau membantumu menjalani hidup.

Baik itu soal barang-barang di kamarmu maupun isi kepalamu.

c. Lakukan hal yang sama pada kehidupan sosialmu

Meski dijelaskan panjang lebar dalam buku ini, aku mencoba menyampaikannya dalam satu kalimat sederhana: tinggalkan orang-orang yang kau nilai toxic.

Kurasa tidak perlu dijelaskan mengapa. Soal siapa-siapa saja, itu urusanmu untuk menentukan.

d. Menyadari perasaan

Kesendirian dan segala aktivitas di dalamnya bisa menimbulkan ragam perasaan, bisa menyenangkan, bisa begitu menyedihkan. Apapun itu, yang perlu kamu lakukan hanya menyadari setiap perasaan yang kamu alami.

Tidak perlu repot-repot mencari alasan kenapa perasaan itu kamu alami, cukup kamu terima dan sadari. Jika perlu, tuliskan dalam sebuah jurnal sederhana supaya suatu hari bisa kamu baca kembali.

Bagian 2: Beberapa bahan untuk melamun

Sebetulnya, dalam buku ini Desi Anwar memaparkan banyak hal yang bisa jadi bahan meramaikan kepalamu (jika tidak cukup ramai) saat sendirian: soal keterikatan, individualisme, realitas, alam bawah sadar, mitos-mitos kebahagiaan, bahkan lamunan soal apa yang terjadi dengan masa depan manusia jika dunia dikuasai artificial intelligence.

Meski demikian, ada 3 hal yang paling menarik bagiku dan ingin kubagikan:

a. Soal menemukan makna

Saat dalam keramaian, kadang kita terlalu disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan soal pemaknaan diri yang datang tanpa kita tahu jawabannya.

Buku ini bilang bahwa kecenderungan ini datang dari keinginan kita unuk dinilai baik oleh orang lain, atau ekspektasi yang datangnya justru dari diri kita sendiri. Sedemikian ramai, sehingga semakin kita berusaha mencari jawabannya, justru semakin sulit untuk ditemukan.

Maka dalam kesendirian, luangkan waktu untuk melihat lebih dalam pada diri sendiri. Bahwa yang kamu cari mungkin mengendap di suatu tempat yang selama ini ditutupi harapan dan ekspektasimu yang gagah berani.

Atau ternyata, ini bukan soal menemukan dan tidak menemukan, melainkan soal penerimaan diri bahwa tidak semua hal harus kita ketahui, setidaknya untuk saat ini, dan yang bisa kita lakukan adalah menerima.

b. Soal kesadaran universal

Bagian ini banyak bicara soal alam semesta dan fisika kuantum, yang mana — jika kamu mengenalku dengan cukup baik — begitu sulit kupahami teori-teorinya.

Meski demikian, ada satu bagian yang menarik soal latihan kesadaran. Desi Anwar menawarkan analogi akan kesadaran yang bersifat universal.

Bayangkan dirimu dalam mobil di tengah kemacetan yang membosankan, lalu kamu memutuskan untuk menyalakan radio. Radio frekuensi, bukan digital.

Lalu kamu sibuk mencari frekuensi stasiun radio favoritmu, siapa tahu memutar lagu kesukaanmu yang tidak banyak orang tahu itu. Lalu akhirnya saat berhasil kau temukan, kebosanan macet jalanan itu jadi sedikit lebih ringan.

Kesadaran universal adalah stasiun radio yang memutar lagumu. Sementara mobil-mobil yang ada di kemacetan itu dengan radionya masing-masing, adalah kesadaran individual.

Setiap orang berhak menentukan “frekuensi” kesadarannya masing-masing, namun ketika dirimu menyamakan frekuensimu dengan kesadaran universal yang tidak lagi terikat pada ego-mu, harapannya, kamu akan merasa lebih baik.

Dalam kesendirian, ambil waktu untuk tenang, dan “samakan” frekuensi kesadaranmu dengan kesadaran universal tersebut. Bisa berhasil, bisa tidak, namun tidak ada salahnya dicoba.

c. Soal kebahagiaan dan ketenangan

Situasi pikiran kita saat ini berpengaruh besar pada situasi diri secara utuh sebagai manusia, termasuk soal kebahagiaan.

Menjadi “bahagia” adalah soal euforia, tentang sesuatu bernuansa gegap gempita. Bahkan dalam taraf tertentu, kebahagiaan itu candu.

Sedemikian hebatnya membuatmu ketagihan, sehingga tanpa kita sadari setiap hari kita melakukan banyak hal hanya untuk merasakan euforia kebahagiaan. Lantas jika tidak tercapai, kita kecewa, atau mungkin sedih. Begitu seterusnya.

Seperti substansi lain yang membuat kecanduan, ketergantungan terhadap kebahagiaan juga bisa membawamu pada penderitaan. Lantas apa yang harus dicari jika bukan kebahagiaan? Salah satunya adalah ketenangan.

Ketenangan (a calm state of mind) adalah situasi kita yang tidak mudah terusik pada gangguan. Ia tidak mudah terpengaruh oleh pikiran-pikiran destruktif (yang anak gaul bilang sebagai overthinking), keinginan-keinginan fana, dan pengaruh eksternal.

Meski demikian, bukan berarti kemudian kita mengabaikan hal-hal tersebut. Desi Anwar menulis bahwa pikiran yang tenang akan mampu melihat bayangan awan yang terpantul di permukaan danau, namun tidak akan salah menangkap paham bahwa awan tersebut adalah bagian dari danau.

Ia yakin dan tahu betul pada saatnya nanti awan itu akan pergi, dan akhirnya danau itu akan kembali pada the state of peace and quiet.

A perfect serenity.

Bagian 3: Setelah sendirian, lalu apa?

Tujuan akhir dari semua hal yang ditawarkan di atas sebenarnya sederhana, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Pertanyaannya, seperti apa hidup yang baik dan tidak baik? Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada perspektif apa yang kamu gunakan untuk melihat hidupmu sendiri.

Dalam kesendirian, kamu bisa mencoba beragam cara yang bisa membantumu membentuk perspektif atas hidup yang menurutmu baik, yang kau rasa tidak membebani, tidak membuatmu bangun dan mengutuk pagi, atau tidur dengan perasaan yang sesak di hati. Kalau kutipan yang paling kusuka dari buku ini:

“Life is a lifetime journey whose destination is wisdom and self-knowledge. A game of which the prize is enlightenment.” — Desi Anwar, 2020.

Bagiku secara pribadi, hidup tidak melulu soal baik dan tidak baik. Dualisme dan polarisasi dalam hidup (soal kanan dan kiri, atas dan bawah, baik dan buruk, surga dan neraka jika ada, dsb yang membentuk pola pikir mayoritas dari kita sampai hari ini) kadang membuat cara pikir kita jadi sedemikian sempit.

Aku memilih percaya pada probabilitas yang tidak terbatas, toh seperti yang juga disampaikan dalam buku ini, sesuatu yang klise tapi kuimani, bahwa yang pasti hanya ketidakpastian.

Meski demikian, menghadapi ketidakpastian bukan berarti menyerah, karena keutuhanmu sebagai manusia terletak pada kemampuanmu bertumbuh dan terbangun setiap pagi dalam versi dirimu yang lebih baik lagi.

Bicara soal ketidakpastian dan ketidakterbatasan (ad infinitum), mungkin di semesta paralel, diriku atau diri kalian yang paralel di sana bisa jadi tidak begitu peduli dengan semua hal ini.

Kasihan ya? —

--

--

No responses yet