Seeking Truth Attempt #23: Failed.

Christian Theo
3 min readOct 9, 2020

--

Demonstran duduk di depan pos polisi yang dibakar. Jakarta (08/10/2020). Sumber : REUTERS/Willy Kurniawan

Saya lahir di tengah situasi politik dan ekonomi yang berantakan pada tahun 1997. Setahun kemudian, pecah kerusuhan.

23 tahun kemudian : kerusuhan belum juga usai.

Belakangan, saya benar-benar pusing dan sakit kepala melihat perbincangan orang soal rancangan undang-undang yang kontroversial itu. Terus terang, saya memiliki kapasitas otak yang sangat terbatas untuk dapat mencerna kalimat-kalimat hukum.

Saya kesulitan memahami kronologi permasalahan rancangan undang-undang ini, apalagi untuk memahami dan menginterpretasi.

Cognitive incompetency — Dunning-Kruger Effect

Sudah, saya sudah coba baca. Saya coba baca draft utama yang ternyata beratus-ratus lembar. Saya yang masih kuliah saja, pusing sekali bacanya. Nggak tahu kalau buat saya yang lulusan SMA, atau saya yang nggak lulus SD.

Saya yang tinggal di pedalaman, saya yang nggak bisa baca tulis? Mungkin bisa jadi, saya tak ikut orang saja, yang lain marah saya ikut marah. Yang lain dukung, saya dukung lebih keras. Saya? Saya tak lihat aja.

Untung saya yang sudah sarjana, saya yang mungkin S2 atau S3, bisa memahami isi draftnya dan mengambil sikap apa yang harus dilakukan. Tapi saya sampai sekarang masih bingung, ini yang mana yang benar ya?

Karena kesulitan baca draftnya (kesulitan lho ya, saya ndak malas! Mungkin saya yang lagi leyeh leyeh disana itu malas, soalnya kalau saya sih rajin. Saya ndak semuanya malas. Saya pengen tahu kok itu maksud undang-undangnya apa, tapi saya ndak tahu ini yang benar yang mana, nek salah harusnya yang benar gimana, ashmbuh!), saya memutuskan cari-cari infonya di Fesbuk sama IG.

Saya bilang benar, saya lainnya bilang salah. Pokoknya saya yang benar, lihatlah seberapa benarnya saya. Saya akhirnya bunuh-bunuhan di kolom komentar!

Habis itu saya capek terus nonton Anya Geraldine. Life must go on.

Logical Fallacy: Ad Hominem

Malamnya habis lihat rusuh-rusuh, saya pulang mangkel tenan sama tetangga. Ayamnya diumbar, terus nelek sembarangan di halaman saya!

Waktu saya tanya kenapa ayamnya diumbar, katanya “bebas dong ah negara kita demokrasi”. Pas dengar jawabannya, saya mikir apa tak nelek di terasnya ya. Ah tapi nggak seru.

Lebih seru ke warung depan rumah. Ngasih tahu bapak-bapak yang lagi pada ngumpul, kalo anaknya tetangga saya itu sekolahnya nggak bener. Iya, mosok sekolah 3 tahun nggak naik 4 kali? Katanya sih, gara-gara di rumahnya nggak ada yang nemenin belajar. Kasihan ya, anak kok nggak dipeduliin. Tetangga saya emang nggak bener!

Terus ayamnya? Itu : masih nelek di depan rumah saya.

Echo Chamber: Filtered Reality

Pas mau tidur, saya buka-buka Instagram lagi. Masih penasaran, sakjane yang mana to yang benar? Saya ini harus bagaimana?

Saya yang bau-baunya nanti jadi pengusaha sih, bilangnya ini undang-undang bagus. Soalnya gampang berinvestasi, ndak banyak aturan sulit.

Saya repost juga nih konten-konten yang seliweran di explore saya, betapa bagusnya undang-undang ini untuk masa depan saya. tulung dibaca nggih.

Saya yang pekerja sejak dalam jiwa, bilangnya ini undang-undang laknat. Ini orang nggak mikir apa ya bikin aturan? Hidup sudah penuh kejatuhan masih mau kasih injak kepala. Kalau kita nggak protes kita bakal diperbudak bro!

Saya repost di story ya, ini banyak konten diupload teman-teman saya tentang seberapa bobroknya undang-undang ini untuk masa depan saya.

tulung, dibaca nggih.

Saya yang bikin algoritma Instagram sih, jualan data sambil ungkang-ungkang kaki.

Wancinyo wes goro-goro
Geger gara-garane duit
Duit manak duit gedine sak duit-duit

  • Sudjiwo Tejo — Goro-Goro

--

--