“Filter Bubble” dan Lingkaran Pertemanan di Dunia Nyata

Christian Theo
5 min readJul 26, 2020

--

A group of people, each surrounded by a unique coloured bubble
Filter bubble mempengaruhi sajian konten yang berbeda di internet untuk setiap orang | Sumber: DuckDuckGo

Belakangan ini, saya tertarik untuk cari tahu lebih dalam soal filter bubble. Mulanya, saya cuma heran karena banyak orang yang jago berdebat di medsos baik itu lewat postingan, story, atau kolom komentar.

Jago dalam bahasan ini bukan sekadar jago ngegas, karena ada juga orang-orang yang meskipun di kepala saya argumennya nggak masuk akal, tapi entah bagaimana orang-orang tersebut bisa menyajikan data atas hal-hal tersebut.

Beberapa waktu lalu, sempat viral soal postingan seorang public figure yang menyoroti salah satu karya fotografer berkaitan dengan Covid-19. Di kolom komentar postingan tersebut juga terjadi skema perdebatan yang serupa, muncul polarisasi opini di mana sebagian mendukung dan sebagian lainnya melawan. Alih-alih mempercayai salah satu di antara keduanya, saya justru kagum pada cara orang-orang ini “beriman” pada opininya masing-masing.

Tentunya, ada sumber-sumber informasi yang mendasari pola pikir dan argumen seseorang. Dalam konteks media sosial, algoritma yang membentuk filter bubble ini bisa jadi salah satunya. Secara teknis, hal ini cukup rumit dijabarkan, yang jelas algoritma media sosial mengunakan data aktivitas kita di sana untuk menyajikan konten-konten yang dinilai relevan sesuai dengan kebutuhan kita.

Salah satu contoh algoritma di Instagram | Sumber: Wallaroo Media Pinterest

Contohnya, pasti kita pernah lagi iseng cari sepatu, baju, atau apapun yang lagi kita butuhkan, lalu nggak lama kemudian iklannya bermunculan di sela-sela story atau feed Instagram. Itu adalah salah satu bentuk bagaimana sistem algoritma bekerja. Dalam perkembangannya sekarang, algoritma juga berlaku bahkan untuk aktivitas kita secara umum di internet, mulai dari history di search engine, artikel-artikel yang kita baca, dan nggak terkecuali data-data pribadi seperti umur, gender, bahkan lokasi kita.

Ibaratnya, media sosial dan internet secara umum seakan jadi seperti one-way mirror. Kita merasa apa yang tersaji di layar adalah refleksi atas diri kita, di mana kita merasa aman beraktivitas dalam ruang privat dan — terkadang — dalam anonimitas. Nyatanya, seluruh aktivitas kita terekam secara gamblang melalui sistem algoritma dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti iklan, kategorisasi konten, dan sebagainya.

Buat orang-orang yang menyadari keberadaan sistem algoritma, sistem ini bisa bermanfaat untuk menyaring info-info sebatas pada yang kita butuhkan. Tapi, nggak jarang juga orang-orang kurang menyadari keberadaan dan dampak negatif sistem ini. Mungkin ini juga bisa jadi salah satu alasan kenapa ada saja orang yang keblinger hoax dan info-info sensasional.

Keterbatasan ruang lingkup informasi semacam inilah yang disebut sebagai filter bubble. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Eli Pariser. Setahu saya sih, istilah lainnya echo chamber. Sistem algoritma “menggaungkan” gema informasi yang kita akses sehingga kita merasa bahwa apa yang kita yakini benar, juga diamini oleh orang lain. Ini semata-mata karena kita disajikan konten yang serupa dengan data informasi yang selama ini kita konsumsi berdasarkan aktivitas di internet. Hal ini bikin fenomena polarisasi di masyarakat jadi masuk akal buat saya.

Buat anda yang nggak mau terjebak dalam filter bubble, sebenarnya ada beberapa cara buat menguranginya, misalnya lewat pengaturan cookies di browser anda, dan lain sebagainya. Meskipun nggak sepenuhnya hilang, setidaknya kita bisa mendapatkan cakupan informasi yang lebih luas dan seimbang dalam konteks sudut pandang.

Repotnya, di dunia nyata kita nggak bisa demikian. Bukan hal yang tidak mungkin ‘kan, polarisasi di media sosial terbawa sampai ke dunia nyata?

Seleksi informasi di dunia nyata bisa jadi justru terasa lebih sulit dibanding dunia maya. Lingkaran pertemanan bisa jadi pengaruh berpikir yang cukup signifikan buat kita. Bermula dari obrolan-obrolan ringan, secara nggak sadar lama kelamaan bisa membentuk pola pikir spesifik yang mempengaruhi kita berperilaku, baik itu positif, maupun negatif.

Apesnya lagi, kita nggak bisa dengan mudah “menghapus cookies” di kehidupan nyata. Relasi lingkaran pertemanan tentunya nggak bisa disamakan dengan sistem algoritma di internet dan media sosial. Mau tidak mau, menyeleksi lingkaran pertemanan agaknya perlu mulai kita lakukan. Bukan tidak mungkin, lingkaran pertemanan mendistorsi realitas yang mau kita jalani dan yakini benar.

Amy Morin, seorang psikoterapis menulis artikel menarik tentang bagaimana lingkaran pertemanan mempengaruhi cara hidup kita:

  1. Strong-willed friends can increase your self-control
    Penelitian di tahun 2013 menunjukkan kalau berada di lingkaran pertemanan yang punya kedisiplinan tinggi bisa membantu kita-kita yang cenderung malas-malasan atau punya self-control yang rendah, jadi punya semangat buat mencapai tujuan jangka panjang dengan lebih baik.
  2. Fewer friends increases the likelihood you’ll take financial risks
    Artikel jurnal di Journal of Consumer Research, memaparkan kalau lingkaran pertemanan kita nggak bisa diandalkan, bisa bikin kita boros. Walau kedengaran agak nggak nyambung, tapi ini terjadi karena lingkaran pertemanan yang demikian bikin kondisi emosional kurang stabil dan bisa berpengaruh ke spending habit kita.
  3. Too many socal media connections can increase your stress level
    Hasil penelitian di University of Edinburgh Business School menemukan kalau terlalu banyak teman di media sosial bisa meningkatkan stress level. Salah satu penyebabnya, ada tendensi dalam perilaku kita di media sosial untuk menunjukkan versi diri sebaik mungkin, semata-mata agar kita bisa diterima oleh semua orang dalam jejaring di akun kita.
  4. Close friends could be the secret to longevity
    Penelitian menunjukkan kalau pertemanan yang baik (dari segi kualitas dan kuantitas) menurunkan risiko penyakit berkaitan dengan tekanan darah, jantung, dan kadar kolesterol yang bisa membantu umur panjang. Sedikit banyak hal ini juga berkaitan dengan stress level di poin sebelumnya.
  5. Friends can greatly influence your choices
    Hasil penelitian di tahun 2014 juga menunjukkan kalau lingkaran pertemanan yang bisa memberikan moral support yang positif bisa bikin kita terhindar dari pengambilan keputusan yang salah. Kalau lagi mau diet, tentunya pilih teman yang punya healthy habit yang bagus, bukan yang hobi jajan.

Nggak cuma decluttering barang-barang dan perabot di rumah, mungkin sekarang saatnya kita juga mulai memilah-milah informasi dan lingkaran pertemanan semacam apa yang perlu ada di sekitar kita.

Selain itu, di waktu bersamaan, rasanya baik juga kalau kita sambil belajar jadi sumber informasi sekaligus jadi teman yang ideal buat orang lain.

Selamat merapikan circle-mu!~

--

--