Catatan Merpati.

Christian Theo
6 min readNov 27, 2020

--

Yogyakarta, 27 November 2020.

Aku tidak pernah minta terlahir sebagai seekor Merpati. Bahkan aku tidak dilahirkan!

Waktu itu kupecahkan sedikit demi sedikit cangkang yang semakin lama semakin sempit, sebab ada suara riuh rendah di luar yang membuatku penasaran. Kukira ada semacam pesta di luar, entah syukuran, entah kematian.

Yang jelas waktu itu, aku cuma ingin keluar. Kamu pasti tidak bisa membayangkan betapa menyebalkannya berada di dalam telur. Di dalam telur sangat sempit dan bau, bahkan aku tidur di atas kotoranku sendiri. Tidak bisa kubedakan mana yang bisa kumakan dan mana yang sudah kumakan.

— Dan begitu gelap! Aku tidak mengenal siang dan malam, aku tidak mengenal istirahat dan kerja. Aku ingin melihat apa yang sering disebut dengan dunia. Aku ingin melihat wajah ibu yang selama ini cuma kudengar suaranya. Aku ingin melihat, di pohon semacam apa aku tinggal. Telur sungguh memuakkan!

Tapi yang paling kuinginkan selama ini adalah terbang. Aku ingin terbang. Mau jadi Merpati macam apa kalau aku hanya ada di dalam telur? Aku ingin jadi Merpati yang menggigit ranting di ujung paruhnya, yang pulang setiap malam ke sarangnya dan menikmati tekukur tetangga. Aku ingin melihat semua jenis pohon dan mengoleksi ranting-rantingnya. Aku ingin terbang dan berkelana. Terbang dan berkelana.

Cih. Merpati. Ternyata. Setahun pertama jadi Merpati, ternyata aku cuma jadi kacung di sarang. Suara yang selama ini kudengar ternyata bukan ibuku: kudengar ia mati ditembak pemburu.

Bapakku entah kemana. Merpati tidak kenal aturan agama, pernikahan cuma mitos dan berzina adalah keharusan. Satu-satunya yang tinggal di sarang cuma aku dan satu merpati lainnya. Ia saudaraku yang menetas hampir bersamaan denganku. Ia tidak bisa terbang seperti merpati lainnya, sayapnya bengkok sebelah sejak menetas. Setiap hari kerjaannya cuma makan dan berak.

Oh, masih ada satu merpati lain yang memberiku makan setiap hari. Entah, aku juga tidak kenal siapa. Sebagai seekor burung, ia sangat pendiam. Sepertinya dia bisu? Satu-satunya yang pernah dikatakan cuma “kukukur”, yang dalam bahasa Merpati artinya “Makanlah”.

Jadilah setiap hari, aku cuma bisa keliling-keliling mengumpulkan ranting. Belakangan, cuaca tidak bersahabat. Sarang selalu rusak dan basah, belum lagi penuh dengan kotoran si idiot yang tidak bisa terbang. Lantas apa bedanya aku di sini dengan di dalam telur?

Semua harapanku tentang dunia yang kupikir menyenangkan pupus. Aku cuma jadi Merpati kacangan, jadi Merpati yang setiap hari cuma mengurusi hal-hal yang tidak penting. Boro-boro berkelana, aku cuma bangun pagi buta dan kembali tengah malam untuk merapikan sarang. Begitu terus setiap hari.

Sering kali aku iri dengan burung-burung lain. Satu hari aku lihat burung elang yang terbang sangat tinggi. Di paruhnya terlihat samar-samar bayangan kelinci putih dengan darah segar yang menetes dari lehernya. Sayapnya mengepak begitu gagah, bulunya coklat keemasan yang semakin indah setiap tersorot cahaya matahari.

Di waktu lain, aku lihat burung yang terbang rendah. Sampai saat ini aku tidak tahu siapa dia. Sesekali ia terbang ke dekat aliran sungai di sebelah utara, menurunkan kedua kakinya ke permukaan air lalu melesat terbang lagi. Kukira ia berburu mangsa. Tapi nyatanya tidak, ia cuma melakukan itu berulang kali, lagi dan lagi tanpa tujuan yang jelas. Mungkin ia cuma mau menikmati hidupnya sebagai unggas tanpa beban berat seperti yang kualami. Mungkin.

Sampai suatu hari, aku benar-benar muak. Aku memutuskan pergi dan berkelana. Pagi-pagi buta sebelum ia yang memberiku makan datang, aku berangkat.

Aku mau melihat dunia yang Tuhan janjikan. Aku memutuskan turun ke arah perkotaan, melihat kehidupan manusia. Setibanya aku di perbatasan, kuputuskan untuk terbang rendah melihat kehidupan mereka lebih dekat.

Yang kulihat pertama adalah sepasang lelaki dan perempuan yang cukup tua. Entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas satu dan lainnya saling berteriak. Tidak kusangka tiba-tiba si lelaki melayangkan tangannya tepat ke arah wajah si perempuan. Si perempuan hanya diam. Ia benar-benar diam, bahkan menangis pun tidak. Ia cuma memutuskan diam dan tidak lagi berdebat. Sampai akhirnya si lelaki melanjutkan makiannya, lalu pergi. Baru saat itulah kulihat si perempuan menangis. Ia menangis dalam diam, lalu masuk ke rumah.

Setibanya aku di persimpangan di tengah kota, aku melihat asap membumbung tinggi. Kulihat banyak manusia berkerumun, sayup-sayup kudengar mereka berteriak-teriak di depan bangunan yang besar dan megah. Ditengah-tengah mereka berkobar api yang membakar ban. Entah apa yang mereka teriakkan, yang jelas semuanya kompak meneriakkan seruan yang sama.

Kuputuskan terbang lebih rendah. Belum sempat kudengar lebih jelas teriakan mereka, aku mendengar suara letusan. Dari kejauhan banyak manusia berseragam, membawa senjata yang sering dipakai oleh pemburu. Kukira hanya kami para unggas saja yang senang mereka buru. Satu-persatu manusia di barisan kerumunan paling depan tumbang, darah segar mengalir dari mulut dan telinganya. Ah! Persis seperti si kelinci!

Bahkan aku merasa sangat aman terbang di atas mereka yang membawa senjata. Tidak sekalipun terpikir oleh mereka membidik kepalaku: mereka sibuk berburu satu sama lain. Kerumunan tadi berlarian menyelamatkan diri sendiri-sendiri, meninggalkan orang-orang lain yang berjatuhan. Jalanan yang semula hitam perlahan membias merah penuh darah mereka yang jadi mangsa buruan.

Lama-lama, pemandangan ini membosankan. Aku sudah biasa melihat unggas berjatuhan jadi korban buruan. Kuputuskan untuk pergi dan membiarkan mereka melanjutkan perburuan.

Di ujung kota, aku sangat lelah. Tidak kusangka perjalanan menuju kota memakan waktu yang begitu panjang. Aku sangat kelelahan, sekuat apapun aku mengepakkan sayap, aku tidak lagi bisa terbang.

Aku begitu lemas dan akhirnya jatuh di pinggiran jalan kota. Beruntung aku masih sadar. Aku jatuh tepat di sebelah seorang tua yang duduk di atas kain bekas spanduk calon walikota. Si tua ini cuma duduk diam, di depannya ada sebuah kaleng kecil bekas minuman ringan dan sebungkus nasi. Kulihat nasi itu mengepulkan uap panas, nampaknya masih baru. Mungkin ada yang memberinya beberapa menit lalu.

Sambil kelelahan aku duduk di samping si tua ini. Aku hanya diam, demikian juga si tua. Kami sama-sama menikmati remang malam kota. Orang satu per satu berlalu-lalang di trotoar, melewati kami berdua yang khusyuk dalam diam.

Sempat terbesit di pikiranku soal apa yang sedang ia bayangkan. Mungkin ia teringat putranya di perantauan? Yang lama tidak pulang, entah sudah menikah atau mati di perjalanan. Mungkin ia teringat suaminya? Yang belum lama ia lihat melintas di hadapannya dengan mobil keluaran terbaru bersama seorang mahasiswi yang berdandan bak selebriti dengan gincu merah merona. Mungkin ia teringat masa mudanya, yang bahkan tidak terbersit untuk membeli gincu sebab hidup bersama suaminya sudah cukup membuatnya bahagia, tanpa terbayang kalau suatu hari suaminya memutuskan menghamili ia yang bergincu merah tadi.

Saking sibuknya aku melamun memikirkan si tua, aku tidak sadar sejak tadi ia meletakkan sekepal nasi di dekatku. Kulihat ia menengok ke arahku sejak entah berapa lama tadi. Tidak, ia tidak tersenyum. Ia cuma meletakkan sekepal nasi miliknya di hadapanku. Lalu perlahan ia menyantap nasinya sendiri.

Melihatnya makan, aku ikut makan. Sembari makan aku berpikir keras soal apa yang ada di kepala si tua. Kupikir, bagimana bisa ia bernasib sama dengan ibuku? Kukira cuma merpati yang tidak mengenal agama dan norma, dan berzina sepuasnya. Kukira, cuma merpati yang diburu dengan timah panas yang menembus kepala kami. Kukira: cuma merpati yang tidak peduli satu sama lain dan hidup seenaknya sendiri.

Belum sempat kuhabiskan makanan, kulihat kepala si tua sudah mendongak dan bersandar ke tembok trotoar. Mata dan mulutnya terbuka, bungkusan nasi tadi berceceran di pangkuannya. Ia diam dan tidak bergerak lagi. Mungkin ia akhirnya mati dan pergi dari sini. Orang masih berlalu-lalang tidak peduli, sama persis seperti sore tadi.

Malam semakin larut dan kuputuskan untuk menghabiskan nasi lalu pulang ke sarang.

Di sana, kulihat ia yang memberiku makan setiap hari menunggu di dekat sarang. Di dekatnya sudah disiapkan seonggok kecil makanan untukku. Sarang sudah basah kuyup dan berlubang, saudaraku yang tak bisa terbang menggigil kedinginan.

Aku pulang dan terdiam. Ia yang memberiku makan masih terdiam. Tekukur tetangga malam ini tidak terdengar, hanya sayup-sayup riuh perkotaan.

Aku makan perlahan, lalu kurapikan sarang sebisaku dengan ranting-ranting dari pepohonan terdekat.

Ia yang memberiku makan masih diam, yang kulihat ia menangis, untuk pertama kalinya sejak aku dilahirkan sebagai seekor Merpati.

--

--