Aktivisme Daring, atau Narsisisme Daring?

Christian Theo
4 min readNov 7, 2020

--

a quote about online activism/aktivisme daring that sounds “Many Clicks, But Little Sticks” by Merlyna Lim
Lim (2013) menyoal slacktivism: bentuk aktivisme daring dengan dampak yang kurang signifikan di dunia nyata.

2020 sudah hampir berakhir dan yang runyam masih saja runyam. Lebih dari setengah tahun dihabiskan di depan layar, mengakses informasi yang meluap-luap dan selalu saja melelahkan.

Tak terkecuali informasi soal isu sosial politik dan ekonomi yang pasti tidak jarang juga kamu temukan seliweran di timeline. Yang bicara lingkungan, yang bicara tingkah politisi. Yang menuntut untuk diam, yang menolak dibungkam. Yang mengumpat, yang bersumpah serapah. Tinggal dalam user-generated environment di jejaring sosial membawa banjir informasi yang sulit diseleksi dan membingungkan.

Dari sononya, media sosial menawarkan akses yang hampir tak terbatas buat penggunanya untuk menciptakan kontennya sendiri. Sebagai platform berkomunikasi, bentuk ini mengacu model komunikasi dua arah dimana kita yang dulunya cuma jadi audiens atau konsumen konten dari media konvensional (televisi, radio, surat kabar) juga bisa jadi produsen konten.

Selain itu, media sosial juga memungkinkan proses komunikasi yang sifatnya interaktif. Dengan media sosial, kita bisa memberi respon secara instan lewat kolom komentar, like, dan sebagainya. Positifnya, fitur ini memberikan ruang yang lebih bebas, transparan, dan demokratis. Negatifnya? banjir informasi.

Sebenernya nggak negatif-negatif amat sih. Akses internet dan media sosial memungkinkan persebaran informasi yang lebih mudah dan cepat. Nggak jarang, kelebihan ini dipakai juga buat bikin gerakan sosial atau aktivisme. Setiap orang bisa dengan mudah membuat konten bernuansa dukungan, perlawanan, atau awareness-raising yang edukatif terhadap permasalahan sosial.

Sebut saja soal isu rasisme, kesetaraan gender, kesehatan mental, sampai dukungan dan narasi perlawanan dalam konteks sosial politik. Minimal satu kali, kamu pasti pernah mengakses/terpapar konten tersebut.

Contoh lainnya adalah penggalangan dana atau donasi lewat platform digital semacam kitabisa.com, change.org, dan masih banyak lagi. Gerakan-gerakan ini yang kemudian disebut sebagai aktivisme daring.

Masalahnya adalah, seberapa besar dampak aktivisme daring terhadap perubahan sosial di dunia nyata?

Pros & Cons: Online Activism

Sesen dan Seker (2011) menulis bahwa ada beberapa klasifikasi bentuk pengaruh aktivisme daring bagi partisipasi dan perubahan sosial.

Yang pertama adalah creative effect di mana setiap orang punya peluang untuk menciptakan konten dengan gaya serta maksud dan tujuannya masing-masing. Anggapan ini diperkuat oleh Kahn dan Keller (2004) yang menilai bahwa internet adalah cara yang liberal dan demokratis untuk memberi dan mendapatkan informasi untuk menciptakan relasi sosial politik yang baru.

Yang kedua adalah impairing effect. Klasifikasi ini menyoroti kritik terhadap aktivisme daring yang dinilai jarang terwujud menjadi gerakan di dunia nyata, tidak terlalu berpengaruh, serta dapat menyebabkan backlash sehingga kemungkinan terjadinya aksi ataupun perubahan semakin kecil.

Anggapan lainnya menemukan bahwa respon di internet atau media sosial lewat “klik”, “like”, atau “tweet” juga menyebabkan kecenderungan orang untuk melakukannya demi sekadar mengikuti tren tanpa memahami alasan dan tujuan di baliknya.

Dari anggapan ini, muncul istilah slacktivism di mana aktivisme daring memunculkan nuansa pembenaran moral tanpa perlu benar-benar terlibat dalam pergerakan fisik, sehingga dampak di dunia nyata menjadi kurang signifikan (Lee & Hsieh, 2013).

Pandangan skeptis semacam ini berangkat dari keprihatinan soal ketiadaan partisipasi dalam demokrasi modern yang memandang bahwa aktivisme daring dianggap dangkal, bahkan gagal mengubah atau memperbarui lembaga demokrasi (Lim, 2013). Lebih dalam lagi, slacktivism dikritisi sebagai aktivitas politis yang tidak memberikan dampak politis di kehidupan nyata, namun hanya berdampak pada faktor rasa senang atau kepuasan pada partisipan (Christensen dalam Cabrera et al, 2017).

Slacktivism, clicktivism, keyboard activism, chair activism, apapun itu istilahnya mengacu pada perilaku dukungan atau perlawanan yang dilakukan lewat like, repost, retweet, dan sebagainya tanpa intensi untuk menciptakan perubahan sosial namun semata-mata untuk kepentingan ego-sentris demi popularitas/engagement.

Masalahnya, tidak semua orang melakukan ini dengan sengaja. Bisa jadi, hal ini dilakukan tanpa sadar gara-gara kita sudah terlalu biasa dengan perilaku macam itu di media sosial, dan menjadikan itu lumrah.

Is it bad?

Lantas pertanyaannya, apakah aktivisme daring itu buruk?

Jawabannya adalah: tidak. Dengan catatan, bahwa hal ini dilakukan dengan cara-cara dan maksud serta tujuan yang tepat.

Calenda dan Meijer (2009) menilai aktivisme daring sebagai bentuk kontemporer dari partisipasi merupakan pemicu yang cukup kuat terhadap partisipasi sosial di dunia nyata. Terlebih di tengah pandemi saat ini, memanfaatkan platform digital bisa jadi pilihan yang efisien untuk mengoptimalkan gerakan sosial.

Hanya saja, praktik aktivisme daring agaknya perlu dibarengi dengan kesadaran dan motivasi yang kuat. Silva (2019) dalam observasinya mencatat bahwa mengekspos sisi altruistik dalam diri kita secara berlebihan, salah satunya lewat slacktivism di media sosial, merupakan salah satu kecenderungan yang mengindikasikan perilaku narsisisme digital.

Should I stop being an online activist?

Tenang, menjadi peduli dan bersuara lewat aktivisme daring bukan hal yang salah.

Kalau kamu merasa pernah melakukan hal-hal berbau slacktivism, jangan khawatir! Saya yakin, sebagian besar dari kita pasti pernah melakukan hal itu. Kita cuma perlu menyadari dan merumuskan ulang motivasi dan cara-cara kita mengekspresikan opini, pendapat, atau kritik di media sosial.

Pertama, selalu upayakan verifikasi. Konten yang kita bagikan bisa diakses sedemikian banyak orang, jadi pastikan kamu memverifikasi ulang kebenaran informasi sehingga nggak berujung menyesatkan.

Kedua, pahami bagaimana media sosial bekerja. It may seem like the whole world lies in your hand, but it is not. Media sosial punya karakteristik “ruang gema” yang membuatmu terpapar oleh informasi yang “senada” dengan pendapatmu, seakan-akan itu adalah “kebenaran”, padahal itu hanya “gema” informasimu sendiri. Pastikan untuk membuka mata lebih luas akan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa terjadi, cari informasi yang berlawanan dengan pendapatmu sebanyak-banyaknya dan pahami satu informasi dari berbagai sisi dan sudut pandang.

Ketiga, embrace your authenticity. Jangan ragu untuk menjadi otentik tanpa harus mengikuti arus. Menjadi otentik berbeda dengan menjadi narsis, jadilah otentik yang bermanfaat tanpa harus selalu terpusat pada dirimu sendiri.

Terakhir, just don’t be a pain in the a*s. Pahami etika berkomunikasi, be considerate, give respect to others. Terlalu banyak menyebarkan kebencian dan negativitas, tidak membuat dunia ini jadi lebih baik.

--

--